Assalamu'alaikum wr. wb.
Sebagian kita pasti akan memiliki pikiran umum yang sama membaca subject posting saya kali ini. Paling ngomongin tentang nilai ajaran atau filosofi (baik dalam kehidupan maupun bisnis) yang bisa diambil dari suatu film seperti posting tentang Avatar, Spiderman dan Batman ... hehe ayo ngaku !. Karena sayapun akan memiliki pikiran yang sama ketika membaca postingan tentang film Pursuit Of Happiness atau Jerry McGuire.
Tetapi yang akan saya sharing bukan tentang nilai ajaran dalam film Harry Potter, walau saya akui saya adalah salah satu penggemarnya dengan memiliki koleksi lengkap bukunya dan penonton pertama pada tiap kali filmnya tayang di bioskop.
Yang ingin saya sharing adalah tentang kebiasaan kita menerima asumsi umum yang berlaku dan kadang menyebabkan suatu kekurangan bagi diri kita, bahkan berbahaya. Hal yang sama contohnya dengan yang sering kita dengar tentang Teh Botol Sosro dimana orang pada pertama kali kemunculannya mencibir dengan menyatakan tak akan ada orang yang mau minum teh dari botol atau Aqua yang diawal terbitnya dicemooh karena air putih koq dijual.
Mengenai Harry Potter, yang menarik adalah bahwa ternyata diawal kemunculannya, JK Rowling, sang penulis, tidak dapat menemukan penerbit yang mau menerbitkan buku tersebut. Bahkan perlu waktu setahun untuk mendapatkan penerbitnya.
Mainstream kala itu untuk pasar buku anak2 adalah mulai dari bahwa buku anak2 yang sukses tidak akan lebih dari 70.000 kata, penuh warna atau gambar dan kebanyakan memiliki isi yang rasional. Nah, seperti kita tau, buku Harry Potter itu tebal2 dan temanya adalah dunia penyihir yang irasional. Bahkan Rowling sejak awal menyatakan bahwa buku ini akan terbit sebanyak 7 seri.
Akhirnya dalam lelang hak terbitnya, karena memiliki intuisi bisnis yang bertolak belakang, penerbit Harry Potter sampai membayar sebesar 6 digit, angka yang luar biasa besar untuk pasar buku. Dianggap gila di masa itu.
Dan seperti yang kita ketahui bersama kemudian, Harry Potter booming, mempengaruhi peta bisnis penerbitan buku, bahkan harga indeks saham di wallstreet untuk bisnsi inipun sangat bergantung pada peluncuran buku terbaru dari serialnya dan dinobatkan sebagai buku anak paling berpengaruh abad ini.
Mengapa butuh waktu setahun untuk mendapatkan penerbit ?, sebegitu sulitkah ?, apakah para penerbit yang menolak itu tidak melihat ide kreatif pada buku Harry Potter ?
Mereka, dan kita, termasuk saya, masih sering mengalami ini. Fenomena ini disebut data trap. Ya, data dan analisa yang kita terima kadang menjebak kita. Asumsi kita bermain dengan salah. Sebenernya gak bisa dipersalahkan juga sih, karena kita cenderung akan mengikuti 'suara terbanyak'.
Angka, sains, logika dan analisa tetap diperlukan namun agar lebih menggigit diperlukan pendekatan lain yang lebih bernuansa otak kanan. Data akurat yang kita miliki lebih berisi data historis padalal pasar bersifat dinamis. Mustahil mendapatkan sesuatu yang berbeda untuk masa depan menggunakan cara yang sama dari masa lalu.
Memang perlu latihan terus menerus. Pak Haji atau para pebisnis sukses lain seperti memiliki intuisi yang kuat karena berlatih tiada henti. Bisa dengan mempertajam rasa ingin tahu, lebih peka terhadap kondisi lingkungan, melakukan pengamatan, menciptakan komunikasi dengan pelanggan, mempelajari segala sisi dan sudut pandang yang sekiranya bersinggungan dengan mereka, mematangkan materi2 dan teori2 melaui diskusi lintas disiplin dan bidang bisnis karena bisa didapat perspektif2 baru.
Dan yang paling penting, seperti biasa : action action action :).
Seperti yang dilakukan pak Try dengan Zerolabel dan distro khusus anak mudanya. Atau mbak Doris yang terus berlatih mendapatkan produk yang diinginkan pasar sehingga stok dan demand selalu sesuai. Begitu juga dalam pergaulan, kita sudah mahfun akan idiom : don't judge a book by its cover. Pak Hadi gak akan sukses berbisnis selimut jika berasumsi seorang supir gak akan ada manfaatnya diajak ngobrol, ternyata dari situ awal beliau berkenalan dengan bos pabriknya atau ketika berbincang dengan seseorang yang ternyata raja karpet bekas.
Wah, saya aja masih harus terus berlatih nih. Ciat ciat !. Expecto Petronum !
Wassalam.
NB : Diintisarikan dari diskusi di marketing club dan TransTV serta beberapa sumber pribadi.
-Eko June-