Menetapkan Harga Jual

Assalamu'alaikum wr. wb.

Terkadang kita bingung dalam menentukan harga jual produk atau jasa kita. Terutama sekali jika kita sebagai produsen, ataupun kita sebagai re-seller.

Jika kita sebagai re-seller untuk produk yang brand-nya sudah terkenal (branded) maka biasanya harga sudah ditetapkan, namun tidak menutup kemungkinan juga bagi kita untuk menetapkan harga sendiri.

Dalam strategi penetapan harga dikenal ada 3 model yang umum dipakai :

1. Cost Plus Pricing (CPP)

Kita menetapkan harga jual dengan menggunakan hitungan biaya produksi internal seperti harga pokok penjualan (HPP/cost of good sold) atau harga modal dan biaya operasional yang timbul, lalu ditambah dengan margin keuntungan yang diinginkan.

Artinya CPP melakukan perhitungan maju (forward calculation), dari biaya internal yang ditimbulkan menuju harga jualnya berapa. Ini yang paling umum digunakan. Modal berapa, cost berapa, ingin margin berapa lalu tentukan harga jual.

Jika ada perubahan pada HPP nya maka untuk mendapatkan margin keuntungan yang sama otomatis harga akan berubah. CPP memungkinkan terjadinya perang harga. Siapa yang paling murah, dia punya kesempatan lebih baik. Itulah sebabnya CPP masih cocok jika target pasar kita middle-low yang 'price-sensitive'.

Contoh adalah perang harga di industri telekomunikasi saat ini. Karena turunnya tarif interkoneksi, akibarnya cost pun jadi turun, lantas selama marginnya masih dapet ya di murahin semurah-murahnya.

2. Market Based Pricing (MBP)

Kita menetapkan harga jual dengan melihat harga di pasaran yang terkadang sudah ditetapkan oleh para pemain. Jika harga rata-rata suatu produk di pasaran sekian rupiah, maka kita harus menggunakan harga tersebut agar kompetitif.

Artinya MBP melakukan perhitungan mundur (backward calculation), untuk mengetahui apakah masih ada sisa labanya setelah melihat harga jual dikurangi biaya-biaya yang timbul.

Biasanya berlaku untuk produk consumer goods atau daily needs. Contoh harga pulsa ya kisaran atau rata-ratanya sudah diketahui, maka kita pastinya menetapkan harga sama atau dibawah itu sedikit.

MBP masih lebih baik dari CPP karena menghindari terjadinya perang harga tapi resikonya adalah munculnya isu kartel atau permainan harga dari para pemain besar seperti isu monopili dua perusahaan besar telekomunikasi.

Untuk kedua model diatas, kadang kita bisa memadukannya. Artinya kita menetapkan harga berdasarkan CPP tapi sekaligus melihatnya juga melalui MBP. Apalagi dalam menghadapi persaingan.

Seperti usaha saya yang bergerak di ritel maka dalam menetapkan harga, selain berangkat dari modal, cost dan margin yang diinginkan, juga melihat harga pasaran atau pesaing.

Kita ingin margin berapa sekaligus melihat apakah harganya sudah sesuai dengan di pasaran, jangan sampai terlalu murah hingga marginnya tipis banget sampai beresiko rugi tapi jangan juga kemahalan sehingga mengakibatkan kurang laku.

3. Value Perception Pricing (VPP)

Ini yang paling ideal sebenarnya, tapi memang paling sulit. Kita menetapkan harga menggunakan persepsi pelanggan terhadap harga yang pantas untuk layanan atau produk kita.

Harga produk tidak selalu harus berbanding lurus dengan biaya produksi atau cost. Selama konsumen menganggap kualitas baik produk dan layanannya dianggap baik, mereka tidak akan segan-segan untuk membelinya dengan harga mahal.

Pernah dengar 'harga barangnya gelap' ? Maksudnya adalah dari harga jual kita gak bisa menebak berapa harga modalnya. Sepatu, kacamata, aksesoris termasuk didalamnya.

Persepsi-persepsi-persepsi. Itulah yang selalu diwanti-wanti pak Sumardy dari Octobrand sewaktu Forum Jum'at TDA tempo hari. Hasilnya akan selalu lebih baik walau perjuangannya juga gak sedikit dan ringan.

Perang harga biasanya bersifat 'short term'. Menang sebentar. Sedangkan dengan persepsi walau lebih lama prosesnya namun lebih awet pula keuntungannya.

Contoh yang sama pada insutri seluler. VPP menggunakan persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan, sinyal gak pernah putus, kemudahan pembayaran, ketepatan billing, jaminan asuransi dan banyak lagi.

Konsumen menjadi 'non price sensitive'. Asal puas, berani bayar mahal. Daripada murah tapi bikin pusing. Target pasarnya memang lebih kepada 'middle-up'.

Semoga kita bisa menetapkan harga dengan baik.

PS : Disarikan dari artikel di majalah Trust dan tembahan lainnya.

Wassalam.

-Eko June-

4 Comments

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post