Assalamu'alaikum wr. wb.
Rekans action member tercinta (ceile, suit suit) ... :).
Memenuhi permintaan mbak Dyah untuk sharing mengenai memperlakukan barang yang gak laku maka ijinkan saya sharing lagi berdasarkan hasil bagi2 ilmu dalam TDA Resource kemaren.
Sebenarnya mengenai bagaimana memperlakukan barang kurang atau gak laku ini sempat di-sharing dengan sangat baik oleh pak Ryad, silahkan baca di : Jika barang tidak laku
Klo dari hasil sharing di TDA Resource kemarin sih : Pertama kali sekali pastinya kita harus tahu data2 barang di toko, dari inventori dan data penjualan. Iyalah. Jadi tau mana barang yang masuk kategori 'fast-moving' mana yang 'slow-moving' atawa mana yang laku mana yang enggak.
Barang yang laku (fast-moving) biasanya masuk kategori barang basic, contohnya : jilbab, kaos kaki, daleman. Dan biasanya harganya murah. Selain dari itu ya kebalikannya. :)
Kemudian dilakukan trik2 penjualan dari mulai barang baru datang. Seperti men-display barang yang 'slow-moving' lebih atraktif, karena barang basic yang fast moving orang udah pasti nyari walau letaknya agak tersembunyi. Trik ini juga berlaku buat terjadinya 'impulse-buying' yaitu barang yang pada awal niatnya gak direncanakan dibeli oleh konsumen, cuma karena terlihatnya bagus jadi pengen beli dan terjadilah transaksi.
Lalu dengan memutar display barang, maksudnya umpama kemaren baju Manet warna biru ada di patung berdiri didepan besok pindah ke patung setengah badan di rak. Ini agar kesannya barang fresh terus padahal tuh barang cuma muterr aja :).
Nah sekarang masuk : klo gak laku. Katanya ada rentang waktu sejak barang baru datang, kapan barang itu dianggap kurang laku. Bisa setelah 3 hari, 1 minggu, 1 bulan, 3 bulan atau kita yang menentukan sendiri. Katakan upamanya setelah 1 bulan masih gak laku, barang di-putar ke cabang lain : umpama tuh barang tadinya ada di Cikarang sekarang pindah ke cabang Bekasi. Ini klo udah punya cabang seperti yang dilakukan pak Ryad melalui 3 tokonya ya. Klo saya sih lom bisa wong tokonya masih sebiji, mungil lagi. :)
Klo udah muter2 cabang tuh barang belom laku juga maka barang itu 'turun derajat'. Yaitu harganya diturunin. Belom diskon ya, jadi labelnya diganti dengan harga baru yang lebih rendah.
Masih gak laku juga ? Barang itu turun derajat lagi menjadi OB. Tau donk singkatan dari apa ? bukan 'office boy' ya tapi obral !. Barang obral ini masuk dengan sukses ke 'wagon' (istilah mereka buat bak itu loh). Pertama kali walo cuma untung RP. 1.000,- juga dijalanin, kemudian jual dengan harga modal, turun terus sampe pada jual rugi. Bahkan katanya ada yang harga awalnya Rp. 50.000 sampai turun jadi Rp. 5.000,- gitu. Hii, syerem :). Mangkanya kami peserta TDA Resource becanda : 'wah klo gitu pas ada acara obral yang sampe rendah banget hubungin kita donk'. Hehe.
Oh ya, di fase obral ini label harga awal dipertahankan lalu klo engak dicoret atau dikasih tulisan di wagon-nya dengan harga baru-nya yang obral.
Ini dari sharing dengan perusahaan retail itu, yang udah mirip seperti Matahari ya.
Jadi ternyata dugaan kita (miminal saya) selama ini bahwa klo barang yang didiskon itu udah di 'mark-up' (dinaikin) harganya terlebih dahulu itu salah ya. :). Maklum dulu kan belum punya usaha jadi mikirnya masih begitu hehe. Jadi ternyata barang2 itu benar2 diskon. Karena mereka juga berkejaran dengan trend yang ada. Klo barangnya lama disimpan, trend-nya udah keburu lewat, wah bener2 jadi 'barang mati'.
Sebenarnya masih banyak cara untuk memperlakukan barang tidak laku ini. Seperti kiat dari pak Hadi, barang yang gak laku kita dijadikan bonus, artinya kita jual harga modal atau ambil untung tipis banget dengan cara : klo beli ditoko ini sampe Rp. 100.000 bisa beli selimut (yang diobral) yang harganya Rp. 150.000 dengan 1/2 harga ! (jadi cuma Rp. 75.000 atau 50%).
Klo kita maen di grosir, kayak yang dilakukan pak Haji Alay, barang yang gak ada serinya atau ukurannya gak komplet, dijual murah banget dan diletakkan di paling depan toko.
Wassalam.
-Eko June-
* foto diambil dari Sinar Harapan by Tinnes Sanger
Rekans action member tercinta (ceile, suit suit) ... :).
Memenuhi permintaan mbak Dyah untuk sharing mengenai memperlakukan barang yang gak laku maka ijinkan saya sharing lagi berdasarkan hasil bagi2 ilmu dalam TDA Resource kemaren.
Sebenarnya mengenai bagaimana memperlakukan barang kurang atau gak laku ini sempat di-sharing dengan sangat baik oleh pak Ryad, silahkan baca di : Jika barang tidak laku
Klo dari hasil sharing di TDA Resource kemarin sih : Pertama kali sekali pastinya kita harus tahu data2 barang di toko, dari inventori dan data penjualan. Iyalah. Jadi tau mana barang yang masuk kategori 'fast-moving' mana yang 'slow-moving' atawa mana yang laku mana yang enggak.
Barang yang laku (fast-moving) biasanya masuk kategori barang basic, contohnya : jilbab, kaos kaki, daleman. Dan biasanya harganya murah. Selain dari itu ya kebalikannya. :)
Kemudian dilakukan trik2 penjualan dari mulai barang baru datang. Seperti men-display barang yang 'slow-moving' lebih atraktif, karena barang basic yang fast moving orang udah pasti nyari walau letaknya agak tersembunyi. Trik ini juga berlaku buat terjadinya 'impulse-buying' yaitu barang yang pada awal niatnya gak direncanakan dibeli oleh konsumen, cuma karena terlihatnya bagus jadi pengen beli dan terjadilah transaksi.
Lalu dengan memutar display barang, maksudnya umpama kemaren baju Manet warna biru ada di patung berdiri didepan besok pindah ke patung setengah badan di rak. Ini agar kesannya barang fresh terus padahal tuh barang cuma muterr aja :).
Nah sekarang masuk : klo gak laku. Katanya ada rentang waktu sejak barang baru datang, kapan barang itu dianggap kurang laku. Bisa setelah 3 hari, 1 minggu, 1 bulan, 3 bulan atau kita yang menentukan sendiri. Katakan upamanya setelah 1 bulan masih gak laku, barang di-putar ke cabang lain : umpama tuh barang tadinya ada di Cikarang sekarang pindah ke cabang Bekasi. Ini klo udah punya cabang seperti yang dilakukan pak Ryad melalui 3 tokonya ya. Klo saya sih lom bisa wong tokonya masih sebiji, mungil lagi. :)
Klo udah muter2 cabang tuh barang belom laku juga maka barang itu 'turun derajat'. Yaitu harganya diturunin. Belom diskon ya, jadi labelnya diganti dengan harga baru yang lebih rendah.
Masih gak laku juga ? Barang itu turun derajat lagi menjadi OB. Tau donk singkatan dari apa ? bukan 'office boy' ya tapi obral !. Barang obral ini masuk dengan sukses ke 'wagon' (istilah mereka buat bak itu loh). Pertama kali walo cuma untung RP. 1.000,- juga dijalanin, kemudian jual dengan harga modal, turun terus sampe pada jual rugi. Bahkan katanya ada yang harga awalnya Rp. 50.000 sampai turun jadi Rp. 5.000,- gitu. Hii, syerem :). Mangkanya kami peserta TDA Resource becanda : 'wah klo gitu pas ada acara obral yang sampe rendah banget hubungin kita donk'. Hehe.
Oh ya, di fase obral ini label harga awal dipertahankan lalu klo engak dicoret atau dikasih tulisan di wagon-nya dengan harga baru-nya yang obral.
Ini dari sharing dengan perusahaan retail itu, yang udah mirip seperti Matahari ya.
Jadi ternyata dugaan kita (miminal saya) selama ini bahwa klo barang yang didiskon itu udah di 'mark-up' (dinaikin) harganya terlebih dahulu itu salah ya. :). Maklum dulu kan belum punya usaha jadi mikirnya masih begitu hehe. Jadi ternyata barang2 itu benar2 diskon. Karena mereka juga berkejaran dengan trend yang ada. Klo barangnya lama disimpan, trend-nya udah keburu lewat, wah bener2 jadi 'barang mati'.
Sebenarnya masih banyak cara untuk memperlakukan barang tidak laku ini. Seperti kiat dari pak Hadi, barang yang gak laku kita dijadikan bonus, artinya kita jual harga modal atau ambil untung tipis banget dengan cara : klo beli ditoko ini sampe Rp. 100.000 bisa beli selimut (yang diobral) yang harganya Rp. 150.000 dengan 1/2 harga ! (jadi cuma Rp. 75.000 atau 50%).
Klo kita maen di grosir, kayak yang dilakukan pak Haji Alay, barang yang gak ada serinya atau ukurannya gak komplet, dijual murah banget dan diletakkan di paling depan toko.
Wassalam.
-Eko June-
* foto diambil dari Sinar Harapan by Tinnes Sanger