Assalamu'alaikum wr. wb.
"Hai orang2 yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik2 dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu mengambil yang buruk2 lalu kamu nafkahkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya dan Maha Terpuji. " (QS Al-Baqarah:267)
Habil kemudian memberikan buah yang terbagus dan termanis juga kambing terbaik dan tergemuk untuk persembahan. Berbeda dengan Qabil yang memberikan buah terjelek dan terbusuk serta kambing terburuk dan terkurus. Allah SWT menerima persembahan Habil.
Ya, cerita itu sudah sering kita dengar bahkan saking sering dan biasanya, kita jarang menemukan kedalaman maknanya. Alhamdulillah saya menemukannya setelah saya mengikuti sharing tentang Quantum Ikhlas oleh pak Erbe Sentanu kemarin.
Keikhlasan tertinggi yang bisa dicapai adalah pada saat kita bisa memberikan 'yang terbaik' dari diri kita. Karena ketika kita bisa memberikan yang terbaik tersebut kemudian dengan segenap jiwa ikhlas sepenuhnya maka hal itu menjadi konfirmasi bagi Sang Pencipta bahwa kita amat sangat merasa beryukur karena merasakan kelimpahan anugerah. Semburan rasa lega dan bahagia dengan deras memenuhi hati kita dan ketika alam 'mendengar' hal ini maka semakin banyak kelimpahan yang dikembalikan kepada kita.
Betul gak ?. Ketika kita memberikan seorang pengemis tua di lampu merah dengan uang Rp. 20.000,- (yang biasanya kita memberikan hanya Rp. 1.000,-) dengan ikhlas seikhlasnya dan kemudian sang pengemis itu mengungkapkan rasa terima kasihnya yang teramat sangat dengan semburan doa2 bagi kita, maka detik itu juga ada rasa kebahagiaan dan haru dalam hati kita.
Rasa syukur karena kita bisa memberikan yang lebih baik, merasakan kelimpahan yang ternyata selama ini kita miliki. Kita baru sadar : BAHWA KITA TERNYATA MEMILIKI SEGALANYA. Apalagi jika kita ber-positive feeling bahwa uang itu akan digunakan untuk membeli obat cucu-nya yang demam tinggi ketimbang ber-negative feeling. Kadang air mata mulai menggantung, antri untuk segera menetes dan meluncur di pinggiran pipi.
Mendingan mana, memberikan Rp. 1.000,- tapi ikhlas daripada memberikan Rp.20.000,- tapi tidak ikhlas ?, begitu sebagian orang bertanya. Ya, memberikan Rp. 20.000,- dengan ikhlas dong ... hehe.
Atau ketika umpamanya diberikan amanah oleh pak Haji untuk membagi stok kerudung dengan rekan kita untuk dijual, dengan sistem konsinyasi. Kemudian kita dengan ikhlas dan secara adil membagi antara kerudung yang terlihat bagus dan kurang bagus-bukannya memilih hanya yang terlihat terbaik untuk kita dan memberikan yang terburuk kepada rekan kita-maka rasa kelimpahan akan muuncul karena bahagia dan syukur masih diamanahi menjual kerudung tersebut. Kelimpahan ini kemudian dibalas dengan larisnya kerudung yang kita jual tersebut.
Atau sesuai anjuran dalam Luck Factor yang memberian 20% dari profit kita untuk disumbangkan. Terlihat sangat besar bukan ?. Tapi ternyata disana tersembunyi makna bahwa kita akan merasa memiliki lebih banyak kelimpahan. Dan ketika apa yang kita rasakan itu 'terdengar' maka kelimpahan2 yang lebih besar akan datang membanjiri kita. Kemudian kita akan disebut 'orang yang beruntung'. Inilah rahasianya kenapa muncul angka 20%, it's the best from us.
Namun seperti yang dikatakan pak Nunu bahwa memang sulit mencapai keikhlasan yang benar2 bersumber dari hati. Kadang keikhlasan itu masih dan hanya ada di pikiran, nyangkut di otak, kemudian turun ke mulut dalam perkataan 'saya ikhlas' walau sejujurnya dalam hati belum sepenuhnya ikhlas. Saya sendiri kadang masih merasakan hal itu. Ditipu rekan, mengalami kerugian, gagal lalu kita berucap 'saya ikhlas' tapi di hati kadang masih kesal :). Memang perlu terus belajar agar keikhlasan itu benar2 muncul dari perasaan dan hati. Alhamdulilalh Quantum Ikhlas sudah mengawalinya dan memberikan alat-nya.
Dalam konteks 'give your best' sendiri kadang kita sudah merasa sudah memberikan yang terbaik atau ketika ditanya atas kegagalan kita, kita bersembunyi dalam alasan 'saya sudah melakukan yang terbaik'. Benarkah ? jika memang sudah maka mungkin kita lupa satu komponen lagi sehingga seharusnya mengatakan 'saya sudah melakukan yang terbaik, dengan ikhlas'.
Wassalam.
-Eko June-
"Hai orang2 yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik2 dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu mengambil yang buruk2 lalu kamu nafkahkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya dan Maha Terpuji. " (QS Al-Baqarah:267)
Habil kemudian memberikan buah yang terbagus dan termanis juga kambing terbaik dan tergemuk untuk persembahan. Berbeda dengan Qabil yang memberikan buah terjelek dan terbusuk serta kambing terburuk dan terkurus. Allah SWT menerima persembahan Habil.
Ya, cerita itu sudah sering kita dengar bahkan saking sering dan biasanya, kita jarang menemukan kedalaman maknanya. Alhamdulillah saya menemukannya setelah saya mengikuti sharing tentang Quantum Ikhlas oleh pak Erbe Sentanu kemarin.
Keikhlasan tertinggi yang bisa dicapai adalah pada saat kita bisa memberikan 'yang terbaik' dari diri kita. Karena ketika kita bisa memberikan yang terbaik tersebut kemudian dengan segenap jiwa ikhlas sepenuhnya maka hal itu menjadi konfirmasi bagi Sang Pencipta bahwa kita amat sangat merasa beryukur karena merasakan kelimpahan anugerah. Semburan rasa lega dan bahagia dengan deras memenuhi hati kita dan ketika alam 'mendengar' hal ini maka semakin banyak kelimpahan yang dikembalikan kepada kita.
Betul gak ?. Ketika kita memberikan seorang pengemis tua di lampu merah dengan uang Rp. 20.000,- (yang biasanya kita memberikan hanya Rp. 1.000,-) dengan ikhlas seikhlasnya dan kemudian sang pengemis itu mengungkapkan rasa terima kasihnya yang teramat sangat dengan semburan doa2 bagi kita, maka detik itu juga ada rasa kebahagiaan dan haru dalam hati kita.
Rasa syukur karena kita bisa memberikan yang lebih baik, merasakan kelimpahan yang ternyata selama ini kita miliki. Kita baru sadar : BAHWA KITA TERNYATA MEMILIKI SEGALANYA. Apalagi jika kita ber-positive feeling bahwa uang itu akan digunakan untuk membeli obat cucu-nya yang demam tinggi ketimbang ber-negative feeling. Kadang air mata mulai menggantung, antri untuk segera menetes dan meluncur di pinggiran pipi.
Mendingan mana, memberikan Rp. 1.000,- tapi ikhlas daripada memberikan Rp.20.000,- tapi tidak ikhlas ?, begitu sebagian orang bertanya. Ya, memberikan Rp. 20.000,- dengan ikhlas dong ... hehe.
Atau ketika umpamanya diberikan amanah oleh pak Haji untuk membagi stok kerudung dengan rekan kita untuk dijual, dengan sistem konsinyasi. Kemudian kita dengan ikhlas dan secara adil membagi antara kerudung yang terlihat bagus dan kurang bagus-bukannya memilih hanya yang terlihat terbaik untuk kita dan memberikan yang terburuk kepada rekan kita-maka rasa kelimpahan akan muuncul karena bahagia dan syukur masih diamanahi menjual kerudung tersebut. Kelimpahan ini kemudian dibalas dengan larisnya kerudung yang kita jual tersebut.
Atau sesuai anjuran dalam Luck Factor yang memberian 20% dari profit kita untuk disumbangkan. Terlihat sangat besar bukan ?. Tapi ternyata disana tersembunyi makna bahwa kita akan merasa memiliki lebih banyak kelimpahan. Dan ketika apa yang kita rasakan itu 'terdengar' maka kelimpahan2 yang lebih besar akan datang membanjiri kita. Kemudian kita akan disebut 'orang yang beruntung'. Inilah rahasianya kenapa muncul angka 20%, it's the best from us.
Namun seperti yang dikatakan pak Nunu bahwa memang sulit mencapai keikhlasan yang benar2 bersumber dari hati. Kadang keikhlasan itu masih dan hanya ada di pikiran, nyangkut di otak, kemudian turun ke mulut dalam perkataan 'saya ikhlas' walau sejujurnya dalam hati belum sepenuhnya ikhlas. Saya sendiri kadang masih merasakan hal itu. Ditipu rekan, mengalami kerugian, gagal lalu kita berucap 'saya ikhlas' tapi di hati kadang masih kesal :). Memang perlu terus belajar agar keikhlasan itu benar2 muncul dari perasaan dan hati. Alhamdulilalh Quantum Ikhlas sudah mengawalinya dan memberikan alat-nya.
Dalam konteks 'give your best' sendiri kadang kita sudah merasa sudah memberikan yang terbaik atau ketika ditanya atas kegagalan kita, kita bersembunyi dalam alasan 'saya sudah melakukan yang terbaik'. Benarkah ? jika memang sudah maka mungkin kita lupa satu komponen lagi sehingga seharusnya mengatakan 'saya sudah melakukan yang terbaik, dengan ikhlas'.
Wassalam.
-Eko June-