Assalamu'alaikum wr. wb.
Mau cerita yang ringan2 aja ah.
Sudah lama rasanya menunggu munculnya film Ayat-Ayat Cinta setelah membaca novelnya yang luar biasa. Dan ketika muncul saya termasuk menontonnya untuk pertama kali tanghal 23 Feb bersama keluarga, padahal menurut isunya baru akan naik layer tanggal 28. Review ini saya buat berdasarkan pengamatan saya semata sebagai pecinta novel Ayat-Ayat Cinta sekaligus movie lover. Jadi bila ada yang belum melakukan salah satunya, baik membaca novelnya maupun menonton filmnya, mohon maaf jika banyak perbandingan didalamnya.
Menurut saya film ini cukup berusaha keras untuk tidak jauh dari novelnya walau ada beberapa bagian yang berbeda. Sebagian di novel malah tidak ditampilkan di film seperti tidak ditemukannya sama sekali, padahal cukup penting, tokoh Mr. Boutros dan Yousef, adik Maria yang ramah ... lalu masuk Islamnya Alicia sang reporter Amerika yang diselamatkan Fahri di bis, makan malam dengan keluarga Boutros, sakit dan dirawatnya Fahri karena panasnya udara Mesir yang demikian, rekan satu sel Fahri dipenjara yang salah satunya adalah mantan guru besar Universitas Al-Azhar dan bagian pencarian orang tua asli Noura.
Sebaliknya ada bagian yang gak ditemukan di novel malah muncul di film seperti sakit dan komanya Maria selain karena beban pikiran setelah Fahri menikah dengan Aisya adalah karena ditabrak mobil secara sengaja oleh orang suruhan Bahadur, ayah dari Noura ... lalu scene poligami Fahri dengan Aisha dan Maria yang cukup panjang walau jenaka dan berisi, padahal di novel, Maria kembali koma dan meninggal karena tertekan sehabis berteriak kepada Noura yang dianggap penipu.
Tapi memang harus maklum karena perbedaan media yang cukup besar antara buku dengan film, antara format tulisan dengan audio-visual, antara kita baca butuh 3-7 hari menjadi hanya sekitar 2 jam :). Apalagi setelah membaca kisah dibalik pembuatan film ini yang ditulis mas Hanung di blognya. Ada tarikan kepentingan antara mempertahankan idealisme dalam novel dengan komersialisme produser.
Satu hal lainnya, keindahan dan ke-eksotis-an Mesir bersama sungai Nil-nya kurang tergali dengan baik. Padahal saya ingin sekali melihat hal ini, karena ini menjadi salah satu daya tarik novelnya yang ditulis oleh penulis yang memang tinggal lama disana. Memang sih pembuatan film ini di India, jadi jangan harap ada kesan Mesir secuilpun didalamnya selain gambar piramida dan unta. Imajinasi di novel lebih tergali dengan baik. Di film, malah cenderung bersuasana gelap, flat tempat Fahri dan Maria terlihat kumuh dengan pasarnya.
Udah gitu, walau dari semula ketika melihat trailernya, saya sedikit kecewa dengan pemilihan pemeran orang Mesir yang diperankan pribumi, kecuali pemeran Aisha dan Maria. Mecca memang cantik, tapi kurang cocok memerankan Noura, begitu juga hakim pengadilan yang terlalu Indonesia, medhoq banget logatnya.
Terlebih yang saya paling sayangkan adalah mengenai sisi religius dari novel ini yang banyak dipangkas malah diputarbalikkan. Padahal seperti salah satu testimony dalam novelnya, Ayat-Ayat Cinta bukan hanya novel cinta tapi novel relijius, politik, sejarah dan lain2. Dalam film lebih dikedepankan cinta dan romantismenya padahal dalam novel semua itu dibalut sisi relijius yang indah.
Contoh, berduaannya Fahri dan Maria, ini khalwat dalam Islam. Lalu Aisha yang pergi ke rumah orang tua tanpa seijin Fahri, wah padahal di novel Aisha digambarkan sebagai istri yang tabah, penyanyang dan sabar. Dan satu lagi, pada saat Aisha marah besar setelah ditanya jaksa tentang cepatnya proses perkenalan hingga pernikahan, ia menjerit bahwa ia memang belum mengenal Fahri. Nah loh, ini kan mendiskreditkan ajaran ta’aruf dalam Islam, dan malah melegalkan pacaran. Padahal orang yang pacaran udah lama aja setelah menikah bisa kaget karena ngerasa gak mengenal pasangannya :).
Oh ya satu lagi yang bikin saya kecewa dan sedikit geli. Yaitu pada saat adegan malam pertama Fajri dan Aisha. Di novel, mereka sholat terlabih dahulu, membaca doa, Fahri lalu membaca puisi cinta (hingga saya membatin ’ah so sweet’ hehe), lalu kemudian mengecup kening Aisha. Eh di film malah Fahri mengajak Aisha berbaring ... jadi kayak nonton film Indonesia tahun 70-an atau nonton malam pertama Kabayan sama Nyi Iteung ! :). Di novel scene ini begitu indah, romantis tanpa meninggalkan kesan malam pertamanya.
Ah, namun tetap saja kita perlu berbangga dengan film ini. Dibandingkan dengan film2 Indo lainnya yang ber-genre horor, mistik, cinta2an remaja yang gak mutu. Film ini bisalah saya sandingkan dengan Naga Bonar Jadi 2, Janji Joni dan Mendadak Dangdut yang berani tampil beda.
Wassalam.
-Eko June-