Assalamu'alaikum wr. wb.
Jujur, ini hanyalah resume dari buku Tipping Point karya Malcolm Gladwell. Seharusnya saya banyak menggunakan frase 'katanya' tapi sepertinya bunyinya jadi gak enak, jadi anggap saja posting ini gabungan dari hasil contekan plus sedikit comotan dari otak yang gak seberapa cerdas ini :).
Dan jujur, saya banyak mengambil pelajaran disana, karena disisipi analisa dari buku-buku lain maupun dari hasil survey mandiri. Terlepas dari apakah dia mencari kekayaan lewat kekayaan intelektualnya dari menjual buku atau seminar :).
Saya tertarik dengan uraian mengenai Rule of 150 atau Aturan 150.
Katanya, berdasarkan penelitian dan praktek dari berbagai sumber, bahwa secara sosial dan psikologi, manusia mencapai optimal sosialisasinya di angka 150. Maksudnya kita akan bisa akrab, mengenal satu sama lain, dalam suatu organisasi, komunitas, sekte, grup, partai maupun struktur sosial apapun jika jumlah anggotanya maksimal atau rata-rata 150 orang.
Jika lebih dari itu maka akan terjadi hal-hal aneh, kadang gak ditemukan alasannya, yang memunculkan entah itu kerenggangan, mulai asing satu sama lain, saling curiga, merasa tidak dibutuhkan dan lain-lain.
Contoh, ada sebuah kelompok keagamaan disebut kaum Hutterit, yang selama ratusan tahun telah hidup di sebuah koloni pertanian mandiri di Eropa dan sejak abad ke-20 di Amerika Utara. Mereka memiliki kebijakan tegas bahwa setiap kali koloninya mendekati angka 150, mereka akan memecah koloni itu menjadi dua bagian dan masing-masing hidup sebagai sebuah koloni baru.
Menurut kaum Hutterit, menjaga kelompok tetap berada pada angka 150 merupakan cara terbaik dan efisien untuk dikelola, jika lebih besar dari itu maka orang-orang akan merasa asing. Ketika jumlah anggota mendekati angka 150, sesuatu pasti terjadi, yang tidak dapat dijelaskan tetapi sangat nyata, yang entah bagaimana mengubah ciri dasar komunitas dalam waktu singkat.
Dalam kelompok kecil, orang cenderung lebih akrab. Seluruh anggota seolah-olah saling terjalin, sesuatu yang penting sekali agar setiap orang dapat menjadi efektif dan sukses dalam komunitas. Begitu kelompok menjadi terlalu besar, kebersamaan menjadi berkurang baik dalam hal pekerjaan maupun kepemilikan, maka mereka akan menjadi saling asing dan keakraban kelompok terancam hilang. Yang terjadi adalah terbentuknya kelompok-kelompok di dalam kelompok.
Sebuah perusahaan menggunakan Rule of 150 ini. Namanya Gore Associates, sebuah perusahaan teknologi tinggi bernilai jutaan dolar yang berpusat di Newark, Delaware. Bayangkan jika ada perusahaan yang gak ada istilas jabatan, kartu nama 'karyawan' nya hanya tercantum nama kemudian kata 'Associate' dibawahnya, tidak memiliki bagan organisasi, tidak menyusun rencana strategi yang rumit, upah ditentukan secara kolektif, kantor pusat hanya menempati sebuah bangunan bata merah sederhana, yang disebut ruang kerja eksekutif hanyalah ruang-ruang kecil dengan perabot seperlunya, yang disebut ruang rapat adalah pojokan atau ruang terbuka.
Tapi jangan remehkan prestasinya. Setiap kali pengamat bisnis membuat daftar perusahaan terbaik atau setiap kali konsultan bicara soal perusahaan yang dikelola paling baik (tentu semua dalam lingkup negara Amerika), Gore selalu termasuk dalam daftar. Tingkat keluar-masuk karyawannya hanya 1/3 angka rata-rata di perusahaan sejenis, dengan karyawan telah mencapai ribuan, Gore selalu untung selama 35 tahun berturut-turut, memiliki tingkat pertumbuhan dan produk inovatif yang sangat menguntungkan sehingga membuat iri semua perusahaan.
Setelah melakukan trial and error mereka menjumpai kenyataan bahwa segala sesuatu serba kisruh begitu jumlah karyawan mencapai 150. Sejak itu maka mereka memutuskan bahwa setiap pabrik tidak boleh memiliki karyawan lebih dari 150 orang. Artinya, divisi elektronik (misalnya), pabriknya tidak boleh menempati ruang lebih besar dari 50.000 kaki persegi, maksudnya supaya tidak bisa menampung lebih dari 150 orang. Perencanaan pengembangan kedepannya mudah saja, parkiran karyawan mereka disediakan hanya untuk 150 orang, maka apabila suatu ketika ada yang terpaksa harus parkir di rumput, artinya harus membuat pabrik baru :).
Secara psikologi, dalam kelompok kecil berlaku peer pressure yaitu kenal akrab dengan sejumlah orang sedemikian sehingga kita harus peduli dengan pendapat mereka. Press pressure jauh lebih dahsyat ketimbang teguran seorang bos. Orang mau tidak mau akan bertindak sejalan dengan harapan sesama anggota kelompok. Orang bagian manufaktor sangat akrab dengan orang penjualan yang menyampaikan langsung keinginan konsumen, orang keuangan akrab dengan orang-orang bagian marketing dan lain-lain, yang tidak mungkin dicapai dalam organisasi berukuran besar, yang jika istirahat makan siang di kantin akan membentuk kelompok-kelompoknya sendiri sesuai bagiannya.
Robin Dunbar, seorang antropolog Inggris melakukan penelitian dan menemukan bahwa angka 150 ini tidak hanya muncul sekali-dua kali. Ia mempelajari 21 masyarakat pemburu dengan bukti historis, dari Walbiri di Australia hingga Tauade di New Guinea, Ammasalik di Greenland, dan Ona di Tierra del Fuego ... menemukan bahwa jumlah rata-rata penghuni di perkampungan mereka adalah 148,4 orang.
Pola yang sama berlaku di organisasi militer. Selama sekian tahun para pemikir militer sampai pada aturan sederhana bahwa unit tempur fungsional tidak bisa lebih dari besar dari 200 orang. Dengan ukuran itu, perintah lebih mudah disampaikan dan kesalahan lebih mudah dikendalikan berlandaskan kesetiaan pribadi dan kontak orang per orang secara langsung, yang menjadi mustahil jika dengan kelompok lebih besar.
Memecah menjadi kecil bukan berarti sempalan, tapi berada pada satu visi besar yang sama. Beberapa pabrik tapi tetap dalam satu visi perusahaan. Beberapa unit milite tapi tetap dalam satu visi kepemimpinan. Bukan seperti sempalan partai yang kini marak, lebih karena ego pribadi dan balas dendam.
Aneh ya ? tapi masuk akal jika melihat hasil analisa dan penelitiannya, didukung juga ilmu sosiologi dan psikologi yang secara detil dijabarkan disana tapi pusing juga klo ditulis disini.
Yang bisa saya petik adalah bahwa small is beatiful, more fleksible. Dan jika menemukan suatu kelompok yang makin besar tapi lama-lama bergeser nilai dan tujuannya, mungkin inilah dampak Rule of 150, udah kebanyakan anggota, kebanyakan pemikiran dan tuntutan. Jika kita masih ada sejumput tenaga dan setetes kepercayaan terhadap kelompok itu, berdamailah dengan kekurangan yang ada, mencoba memperbaiki dan mengarahkan. Ketimbang menclok satu kelompok, lama-lama gak cocok, keluar - menclok lagi di kelompok yang lain, terulang siklusnya dan seterusnya. Lebih dari satu-dua kelompok perlulah untuk nambah wawasan tapi akan sulit jika tujuannya ingin fokus 'berbakti' pada masyarakat (umpamanya), lalu ikut sampai 100 kelompok.
Dan jika sekarang kita memiliki satu kelompok lagi yang kita percaya, maka jagalah agar tetap kompak dan akrab, lalu jika kemudian melewati batas 150, antisipasi dengan baik kemungkinan renggangnya, merasa terabaikan dan asing satu sama lain. Semoa kita semua bisa tetap kompak. Amin.
Wassalam
-Eko June-
Jujur, ini hanyalah resume dari buku Tipping Point karya Malcolm Gladwell. Seharusnya saya banyak menggunakan frase 'katanya' tapi sepertinya bunyinya jadi gak enak, jadi anggap saja posting ini gabungan dari hasil contekan plus sedikit comotan dari otak yang gak seberapa cerdas ini :).
Dan jujur, saya banyak mengambil pelajaran disana, karena disisipi analisa dari buku-buku lain maupun dari hasil survey mandiri. Terlepas dari apakah dia mencari kekayaan lewat kekayaan intelektualnya dari menjual buku atau seminar :).
Saya tertarik dengan uraian mengenai Rule of 150 atau Aturan 150.
Katanya, berdasarkan penelitian dan praktek dari berbagai sumber, bahwa secara sosial dan psikologi, manusia mencapai optimal sosialisasinya di angka 150. Maksudnya kita akan bisa akrab, mengenal satu sama lain, dalam suatu organisasi, komunitas, sekte, grup, partai maupun struktur sosial apapun jika jumlah anggotanya maksimal atau rata-rata 150 orang.
Jika lebih dari itu maka akan terjadi hal-hal aneh, kadang gak ditemukan alasannya, yang memunculkan entah itu kerenggangan, mulai asing satu sama lain, saling curiga, merasa tidak dibutuhkan dan lain-lain.
Contoh, ada sebuah kelompok keagamaan disebut kaum Hutterit, yang selama ratusan tahun telah hidup di sebuah koloni pertanian mandiri di Eropa dan sejak abad ke-20 di Amerika Utara. Mereka memiliki kebijakan tegas bahwa setiap kali koloninya mendekati angka 150, mereka akan memecah koloni itu menjadi dua bagian dan masing-masing hidup sebagai sebuah koloni baru.
Menurut kaum Hutterit, menjaga kelompok tetap berada pada angka 150 merupakan cara terbaik dan efisien untuk dikelola, jika lebih besar dari itu maka orang-orang akan merasa asing. Ketika jumlah anggota mendekati angka 150, sesuatu pasti terjadi, yang tidak dapat dijelaskan tetapi sangat nyata, yang entah bagaimana mengubah ciri dasar komunitas dalam waktu singkat.
Dalam kelompok kecil, orang cenderung lebih akrab. Seluruh anggota seolah-olah saling terjalin, sesuatu yang penting sekali agar setiap orang dapat menjadi efektif dan sukses dalam komunitas. Begitu kelompok menjadi terlalu besar, kebersamaan menjadi berkurang baik dalam hal pekerjaan maupun kepemilikan, maka mereka akan menjadi saling asing dan keakraban kelompok terancam hilang. Yang terjadi adalah terbentuknya kelompok-kelompok di dalam kelompok.
Sebuah perusahaan menggunakan Rule of 150 ini. Namanya Gore Associates, sebuah perusahaan teknologi tinggi bernilai jutaan dolar yang berpusat di Newark, Delaware. Bayangkan jika ada perusahaan yang gak ada istilas jabatan, kartu nama 'karyawan' nya hanya tercantum nama kemudian kata 'Associate' dibawahnya, tidak memiliki bagan organisasi, tidak menyusun rencana strategi yang rumit, upah ditentukan secara kolektif, kantor pusat hanya menempati sebuah bangunan bata merah sederhana, yang disebut ruang kerja eksekutif hanyalah ruang-ruang kecil dengan perabot seperlunya, yang disebut ruang rapat adalah pojokan atau ruang terbuka.
Tapi jangan remehkan prestasinya. Setiap kali pengamat bisnis membuat daftar perusahaan terbaik atau setiap kali konsultan bicara soal perusahaan yang dikelola paling baik (tentu semua dalam lingkup negara Amerika), Gore selalu termasuk dalam daftar. Tingkat keluar-masuk karyawannya hanya 1/3 angka rata-rata di perusahaan sejenis, dengan karyawan telah mencapai ribuan, Gore selalu untung selama 35 tahun berturut-turut, memiliki tingkat pertumbuhan dan produk inovatif yang sangat menguntungkan sehingga membuat iri semua perusahaan.
Setelah melakukan trial and error mereka menjumpai kenyataan bahwa segala sesuatu serba kisruh begitu jumlah karyawan mencapai 150. Sejak itu maka mereka memutuskan bahwa setiap pabrik tidak boleh memiliki karyawan lebih dari 150 orang. Artinya, divisi elektronik (misalnya), pabriknya tidak boleh menempati ruang lebih besar dari 50.000 kaki persegi, maksudnya supaya tidak bisa menampung lebih dari 150 orang. Perencanaan pengembangan kedepannya mudah saja, parkiran karyawan mereka disediakan hanya untuk 150 orang, maka apabila suatu ketika ada yang terpaksa harus parkir di rumput, artinya harus membuat pabrik baru :).
Secara psikologi, dalam kelompok kecil berlaku peer pressure yaitu kenal akrab dengan sejumlah orang sedemikian sehingga kita harus peduli dengan pendapat mereka. Press pressure jauh lebih dahsyat ketimbang teguran seorang bos. Orang mau tidak mau akan bertindak sejalan dengan harapan sesama anggota kelompok. Orang bagian manufaktor sangat akrab dengan orang penjualan yang menyampaikan langsung keinginan konsumen, orang keuangan akrab dengan orang-orang bagian marketing dan lain-lain, yang tidak mungkin dicapai dalam organisasi berukuran besar, yang jika istirahat makan siang di kantin akan membentuk kelompok-kelompoknya sendiri sesuai bagiannya.
Robin Dunbar, seorang antropolog Inggris melakukan penelitian dan menemukan bahwa angka 150 ini tidak hanya muncul sekali-dua kali. Ia mempelajari 21 masyarakat pemburu dengan bukti historis, dari Walbiri di Australia hingga Tauade di New Guinea, Ammasalik di Greenland, dan Ona di Tierra del Fuego ... menemukan bahwa jumlah rata-rata penghuni di perkampungan mereka adalah 148,4 orang.
Pola yang sama berlaku di organisasi militer. Selama sekian tahun para pemikir militer sampai pada aturan sederhana bahwa unit tempur fungsional tidak bisa lebih dari besar dari 200 orang. Dengan ukuran itu, perintah lebih mudah disampaikan dan kesalahan lebih mudah dikendalikan berlandaskan kesetiaan pribadi dan kontak orang per orang secara langsung, yang menjadi mustahil jika dengan kelompok lebih besar.
Memecah menjadi kecil bukan berarti sempalan, tapi berada pada satu visi besar yang sama. Beberapa pabrik tapi tetap dalam satu visi perusahaan. Beberapa unit milite tapi tetap dalam satu visi kepemimpinan. Bukan seperti sempalan partai yang kini marak, lebih karena ego pribadi dan balas dendam.
Aneh ya ? tapi masuk akal jika melihat hasil analisa dan penelitiannya, didukung juga ilmu sosiologi dan psikologi yang secara detil dijabarkan disana tapi pusing juga klo ditulis disini.
Yang bisa saya petik adalah bahwa small is beatiful, more fleksible. Dan jika menemukan suatu kelompok yang makin besar tapi lama-lama bergeser nilai dan tujuannya, mungkin inilah dampak Rule of 150, udah kebanyakan anggota, kebanyakan pemikiran dan tuntutan. Jika kita masih ada sejumput tenaga dan setetes kepercayaan terhadap kelompok itu, berdamailah dengan kekurangan yang ada, mencoba memperbaiki dan mengarahkan. Ketimbang menclok satu kelompok, lama-lama gak cocok, keluar - menclok lagi di kelompok yang lain, terulang siklusnya dan seterusnya. Lebih dari satu-dua kelompok perlulah untuk nambah wawasan tapi akan sulit jika tujuannya ingin fokus 'berbakti' pada masyarakat (umpamanya), lalu ikut sampai 100 kelompok.
Dan jika sekarang kita memiliki satu kelompok lagi yang kita percaya, maka jagalah agar tetap kompak dan akrab, lalu jika kemudian melewati batas 150, antisipasi dengan baik kemungkinan renggangnya, merasa terabaikan dan asing satu sama lain. Semoa kita semua bisa tetap kompak. Amin.
Wassalam
-Eko June-