Happy 7th Wedding Anniversary, Sweety

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ego

Sewaktu awal pernikahan, dalam suatu sketsa pertengkaran dengan istri, saya pernah memecahkan kaca jendela menggunakan tangan telanjang. Darah mengucur. Untung belum dikarunia buah hati, sehingga kemarahan kami berdua tidak menjadi tontonan yang akan membekas.

Saya ingin membuktikan apa sebenarnya waktu itu ya ?
1. Saya adalah kepala rumah tangga, yang perlu dihargai
2. Saya adalah lelaki yang tangguh, memecahkan kaca dan berdarah adalah biasa
3. Saya menjalankan perintah agama untuk meluruskan istri

Tapi akhirnya hanya satu pembuktian yang muncul : saya egois.

Sifat pendiam saya ternyata menyimpan amarah. Ketika itu memuncak maka artinya saya mempersilahkan setan untuk mampir ke dalam urat nadi. Meledaklah ia. Padahal urusannya sepele. Istri tidak sepakat dengan saya dan menunjukkan kemarahannya dengan diam dan mengunci kamar.

Wah. Sebagai lelaki dan kepala rumah tangga, harga diri perlu dijunjung setinggi langit dong. Ke-riyaan untuk dihargai dan dihormati semakin menyulut. Sebenarnya saya hanya mempertahankan ego. Saya egois.

Padahal saya hanya perlu menurunkan ego itu sedikit saja. Menurunkan, bukan menghilangkan, karena ego juga penting ada dalam diri kita. Mencoba mengerti perasaannya, pemikirannya, posisinya ... egonya. Eh belakangan baru tau bahwa kalau marah dia emang begitu, diam. Dan dia bilang klo udah begitu, diemin aja dulu beberapa saat sampai reda. Itulah 'senjata' dan ekspresi kemarahannya, diam.

Ah, untung saya masih ingat petuah Nabi. Meluruskan istri itu harus hati-hati. Dikarenakan ia berasal dari tulang rusukmu, maka jangan didiamkan jika salah karena akan semakin bengkok, namun jangan juga terlalu kasar meluruskannya karena bisa patah.

Maklumlah lah klo baru menikah, masih saling menyesuaikan, mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai masing-masing. Pantesan satu tahun adalah ujian terberat. Karena semua topeng terbuka, semua yang disembunyikan terbongkar, semua kejujuran terpapar. Kini, jika ada yang kurang sesuai, maka masing-masing harus menakar ego-nya, idealismenya. Apakah masih masuk takaran yang bisa ditoleransi jika diturunkan sedikit.

Seperti layang-layang, kita harus menurunkannya, harus menariknya sesekali, agar ia bisa terbang. Pun sesekali kita harus mengulurnya. Terlalu ditarik ia tidak akan mengangkasa, terlalu diulur ia akan 'lepas tangan' dan putus. Begitulah pernikahan, tarik ulur agar terjaga. Sesekali, dekap ia dalam pelukan yang hangat namun sesekali pula beri ia kebebasan bertanggungjawab yang diinginkan.

Tulisan ini dipersembahkan dalam ulang tahun pernikahan kami yang ke 7 tanggal 7 Mei 2008 ini dan bagi para pengantin baru (specially for mas Adzan). Semoga tetap diberi keberkahan. Amin.

Wassalam

-Eko June-

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post