Puasanya Bocah


Sewaktu kecil saya terbilang kecil. Hehe benar2 kecil maksudnya kurus banget, bisa jadi karena bengek eh asma yang terdiagnosa begitu brojol ke dunia. Beda sekali dengan postur sekarang yang chubby seluruh badan.

Tapi walau kurus, saya sudah kuat puasa penuh sejak kelas 2 SD. Bukan apa2, hadiahnya itu loh. Sebagai anak pertama dan sempat merasakan sebagai anak tunggal selama 4 tahun, maka jika saya mampu penuh puasanya, ganjarannya begitu menggiurkan, walau sebenarnya hanya buku cerita atau komik favorit. Saya memang suka baca sejak kecil, bahkan ketika diajak ibu ke pasar baru Bekasi dan nemu lembaran koran atau majalah yang menarik tergeletak di tanah, akan saya pungut dan bawa pulang untuk dibaca dirumah.

Berbagai macam cara dilakukan agar kuat puasanya. Biar dapet hadiah. Kadang duduk santai tanpa dosa di depan pintu kulkas yang terbuka, kadang buka baju dan tengkurap untuk mendinginkan perut, paling sering mandi siang2, apalagi klo bukan mengharap ada tetesan air yang tanpa sengaja disalahjalurkan.

Urusan ngabuburit lebih seru lagi. Klo pulang sekolah, kadang saya sengaja bersama seorang sahabat masa kecil, menyusuri rel kereta api dari mulai pasar Proyek bekasi sampai Bulak Kapal. Bahkan dilakukan tidak hanya pas bulan puasa.

Bukan karena gak punya ongkos naek angkot tapi itung2 bisa hemat uang jajan yang cuma 200 perak, 100 perak untuk ongkos naek elf pulang-pergi, yang 100 untuk beli jajanan. Jadi klo bisa jalan kaki pulangnya maka bisa dapet tambahan uang jajan 50 perak yang semestinya untuk ongkos pulang.

Agar bisa makin lama proses pulangnya, maka di rel itu kami keluarkan paku yang telah kami bawa, diatas bantalan rel, sambil tak lupa mengikatnya dengan tali rapia agar tidak terlepas nanti. Begitu kereta lewat maka paku itupun menjadi pisau karena ‘mejret’ terlindas kereta. Dengan pisau2 itu kami bermain, melemparnya ke batang pohon pisang laksana senjata rahasia ninja.

Berenang ? wah jangan ditanya. Itu wajib selama puasa, apalagi klo biar jadi seger seketika !. Langganan masa kecil adalah deretan ‘danau’ dimana sekarang berdiri perumahan Margahayu, yang sebenarnya adalah empang2 kecil. Tak lupa diselingi mancing belut, minta tahu di pabriknya yang ada dipinggir danau, sekaligus main perang2-an.

Tak lupa terkadang ‘ngobak’ juga di kalimalang depan Margahayu tapi ini resikonya sungguh besar, karena klo ketauan sama bapak bisa disabet pake rotan betisnya. Bapak takut klo sampai saya hanyut terbawa arus sungai. ‘Kamu nanti bakal tau sendiri rasanya jadi orang tua yang kuatir’ katanya dulu. Sekarang saya super maklum sama ucapan tersebut.

Untuk yang lain ya jelas sekali kenangan pas tarawih, dimana jarang komplet rakaatnya karena becanda mulu. Entah itu jorokin temen di saf depan atau doyong badan kanan kiri, ngelitikin kaki teman yang disaf depan pas sujud, melorotin sarung temen atau pura2 batuk yang dimain-mainkan (sampe sekarang anak2 kecil begitu ya, hadeuh).

Tapi saya anak kecil yang religius abis loh. Saya bisa sangat khusuk dalam berdoa dan caranya langsung menghadap-Nya. Contoh ketika sambil nunggu maghrib gak boleh ikutan nonton film Voltus atau Megaloman di rumah teman yang termasuk orang kaya karena iri sama saya yang seringkali menang klo maen gobak sodor, gundu, tak galasin, lempar gambaran, kasti, benteng bahkan maen karet dan bola bekel hehe.

Maka saya akan menatap langit, menengadahkan kedua tangan dan berdoa ‘Ya Allah, aku mau nonton Voltus, kasih tau sama si Jodi buat ngijinin, bener ya ? klo iya ntar aku masukin uang jajan ke kotak amal musola deh, janji’ hahahaha lucu bener dah ah klo inget. Klo lagi sedih, atau senang juga gitu. Harus keluar rumah berdoanya, harus natap langit, kayak orang minta ujan.

Sudah ah, makin panjang makin memalukan tulisan ini :).

Wassalam.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post